Bagian ke 3 : Tenaga Migran Indonesia di Sektor Formal dan Profesional
TMI yang bekerja di Brunei memang mayoritas adalah pekerja non formal. Namun kita sepatutnya berbangga hati karena dari 35.000 TMI tidak seluruhnya buruh bangunan atau amah. Sebanyak 26% diantaranya adalah pekerja di sektor formal dan profesional di berbagai bidang (lihat kisah sebelumnya). Periode kedatangan para TMI ke Brunei mempunyai ciri khas yang unik. Periode pertama adalah datangnya para dosen senior dalam ilmu sosial dan agama. Kedua, kedatangan para guru sekolah dan ustad/guru mengaji. Ketiga, periode datangnya pekerja bangunan dan amah, dan pekerja semi trampil. Periode ke empat, kelompok pekerja profesional perminyakan dan teknologi informasi.
Beberapa tahun setelah Negara Brunei Darussalam berdiri tahun 1984 dan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, banyak dosen dan guru yang didatangkan dari Indonesia. Untuk periode awal Prof. Madya Dr. Mangantar Simanjutak jebolan UI, dan pernah belajar di Univ. Georgetown serta Univ. of Hawai ini pernah menjabat sebagai Prof. Madya Linguistik dan Bhs Melayu, Fakultas Sastra dan Sains Sosial, UBD. Kemudian Prof. Dr. Winarno Surakhmad Alumni UGM dan State Univ. USA pernah menjadi dosen di Institut Pendidikan Sultan Hassanal Bolkiah. Nama Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, MA, juga diakui kemampuanya dalam memajukan pendidikan di Brunei. Untuk periode sekarang Dr. Moh. Nabil Almunawar menjabat Ketua Jurusan Busines and Management, Faculty of Bussines Economic and Policy Studies (FBEBS), UBD. Dr. Abdurrahman Haqqi, adalah Dosen Senior di Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA), Gadong, Brunei. Di bidang Seni/Art di Brunei Darussalam, Bapak Drs. Ismaya Sukardi yang asli Wong Jogja, adalah masternya, karena jasa-jasanya di bidang pendidikan seni di Brunei, beliau mendapat penghargaan “Pingat Indah Kerja Baik” dari Sultan Hassanal Bolkiah di istana Nurul Iman. Berkat jasa beliau-beliau inilah nama Indonesia semakin harum dan dihargai di Brunei. Berhubung saat ini lulusan sarjana dari Brunei sendiri semakin banyak, maka jumlah dosen dan guru dari Indonesia di Brunei semakin berkurang.
Kemudian pada tahun 2007 tentunya masih kita ingat bahwa perusahaan Brunei Shell Petrolium (BSP) melakukan rekruitmen tenaga kerja perminyakan secara masal. Kemana tujuan utamanya ? Kemana lagi kalau bukan ke JAKARTA. Kala itu sebanyak 23 insinyur tenaga ahli di bidang explorasi maupun exploitasi perminyakan dan gas bumi hijrah ke Brunei. Sampai saat ini tenaga ahli perminyakan dan teknisi Indonesia telah menunjukkan repusatinya di Brunei, dan kemampuannya diakui dunia. Nama-nama seperti Bapak H. Widyoko, Bapak Ir. Agus Djamil, Msc (Ketua PERMAI) maupun teknisi muda seperti Mas Susatio, Mas Hariyadi tidaklah asing jika kita mengujungi Ladang Minyak Seria. Kemudian para ahli TI Indonesia, jebolan PTDI (PT Nurtanio Bandung), yang “terpaksa” lari ke segala penjuru dunia, beberapa diantaranya menjadi ahli TI di salah satu Kementrian Stratetgis di Brunei dan Royal Brunei Airlines. Teknisi Microsoft Brunei juga orang Indonesia.
Bagaimana dengan gaji mereka ? Jika dibanding dengan TMI non formal, tentu bukan tandingannya. Perbedaannya adalah berbalik 100% mereka dapat Gaji tinggi ditambah ekstra fasilitas, dari mulai rumah, transportasi, pendidikan dan kesehatan bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sebagai contoh Gaji Pensyarah/dosen Gelar Master mulai B$ 2.000 keatas belum termasuk bonus yang bisa dua kali lipat 1B$ Rp 6.500,-, dan untuk Gelar Doktor tinggal kalikan 2 sampai 3 lipat. Dan untuk yang disektor Utama Migas satu bulan gaji dapat dibelikan KERETA/Mobil. Ya… gaji layak, dan penghargaan memang sepantasnya menjadi hak mereka, karena semua itu mereka peroleh dengan kerja keras.
TMI yang bekerja di Brunei memang mayoritas adalah pekerja non formal. Namun kita sepatutnya berbangga hati karena dari 35.000 TMI tidak seluruhnya buruh bangunan atau amah. Sebanyak 26% diantaranya adalah pekerja di sektor formal dan profesional di berbagai bidang (lihat kisah sebelumnya). Periode kedatangan para TMI ke Brunei mempunyai ciri khas yang unik. Periode pertama adalah datangnya para dosen senior dalam ilmu sosial dan agama. Kedua, kedatangan para guru sekolah dan ustad/guru mengaji. Ketiga, periode datangnya pekerja bangunan dan amah, dan pekerja semi trampil. Periode ke empat, kelompok pekerja profesional perminyakan dan teknologi informasi.
Beberapa tahun setelah Negara Brunei Darussalam berdiri tahun 1984 dan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, banyak dosen dan guru yang didatangkan dari Indonesia. Untuk periode awal Prof. Madya Dr. Mangantar Simanjutak jebolan UI, dan pernah belajar di Univ. Georgetown serta Univ. of Hawai ini pernah menjabat sebagai Prof. Madya Linguistik dan Bhs Melayu, Fakultas Sastra dan Sains Sosial, UBD. Kemudian Prof. Dr. Winarno Surakhmad Alumni UGM dan State Univ. USA pernah menjadi dosen di Institut Pendidikan Sultan Hassanal Bolkiah. Nama Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, MA, juga diakui kemampuanya dalam memajukan pendidikan di Brunei. Untuk periode sekarang Dr. Moh. Nabil Almunawar menjabat Ketua Jurusan Busines and Management, Faculty of Bussines Economic and Policy Studies (FBEBS), UBD. Dr. Abdurrahman Haqqi, adalah Dosen Senior di Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA), Gadong, Brunei. Di bidang Seni/Art di Brunei Darussalam, Bapak Drs. Ismaya Sukardi yang asli Wong Jogja, adalah masternya, karena jasa-jasanya di bidang pendidikan seni di Brunei, beliau mendapat penghargaan “Pingat Indah Kerja Baik” dari Sultan Hassanal Bolkiah di istana Nurul Iman. Berkat jasa beliau-beliau inilah nama Indonesia semakin harum dan dihargai di Brunei. Berhubung saat ini lulusan sarjana dari Brunei sendiri semakin banyak, maka jumlah dosen dan guru dari Indonesia di Brunei semakin berkurang.
Kemudian pada tahun 2007 tentunya masih kita ingat bahwa perusahaan Brunei Shell Petrolium (BSP) melakukan rekruitmen tenaga kerja perminyakan secara masal. Kemana tujuan utamanya ? Kemana lagi kalau bukan ke JAKARTA. Kala itu sebanyak 23 insinyur tenaga ahli di bidang explorasi maupun exploitasi perminyakan dan gas bumi hijrah ke Brunei. Sampai saat ini tenaga ahli perminyakan dan teknisi Indonesia telah menunjukkan repusatinya di Brunei, dan kemampuannya diakui dunia. Nama-nama seperti Bapak H. Widyoko, Bapak Ir. Agus Djamil, Msc (Ketua PERMAI) maupun teknisi muda seperti Mas Susatio, Mas Hariyadi tidaklah asing jika kita mengujungi Ladang Minyak Seria. Kemudian para ahli TI Indonesia, jebolan PTDI (PT Nurtanio Bandung), yang “terpaksa” lari ke segala penjuru dunia, beberapa diantaranya menjadi ahli TI di salah satu Kementrian Stratetgis di Brunei dan Royal Brunei Airlines. Teknisi Microsoft Brunei juga orang Indonesia.
Bagaimana dengan gaji mereka ? Jika dibanding dengan TMI non formal, tentu bukan tandingannya. Perbedaannya adalah berbalik 100% mereka dapat Gaji tinggi ditambah ekstra fasilitas, dari mulai rumah, transportasi, pendidikan dan kesehatan bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sebagai contoh Gaji Pensyarah/dosen Gelar Master mulai B$ 2.000 keatas belum termasuk bonus yang bisa dua kali lipat 1B$ Rp 6.500,-, dan untuk Gelar Doktor tinggal kalikan 2 sampai 3 lipat. Dan untuk yang disektor Utama Migas satu bulan gaji dapat dibelikan KERETA/Mobil. Ya… gaji layak, dan penghargaan memang sepantasnya menjadi hak mereka, karena semua itu mereka peroleh dengan kerja keras.
Inilah salah satu contoh hasil kerja keras tenaga profesional di Brunei (Seria) gaji besar, plus mobil, rumah tinggal, fasilitas kesehatan dan pendidikan dan semuannya gratis-tis!!!
Apakah beliau-beliau ini lantas merasa puas dan melupakan asal-usul mereka ? Jawabannya tidak. Dari percakapan saya dengan beberapa orang dari beliau kurang lebih sebagai berikut :
“Bagaimanapun kami ini tidak akan pernah melupakan dari mana kami berasal. Kami-kami ini “terpaksa” mengabdi dan bekerja di sini karena itulah pilihan terbaik yang harus kami ambil. Bukannya sombong, di Brunei ini pendahulu-pendahulu kami juga mengharumkan nama Indonesia, dan hasil jerih payah kami juga mengalir ke tanah air serta mendukung perekonomian Indonesia”.
Sebagai manusia mereka juga tidak selamanya merasa senang. Duka yang paling mereka rasakan adalah ketika melihat nasib sesama TMI yang belum seberuntung beliau. Sebagai wujud dari simpati mereka, biasanya mereka akan mengambil tenaga sopir dan amah dari Indonesia. Perasaan bingung juga sempat mereka alami ketika pertama kali memboyong anak-anak mereka pindah ke Brunei. Budaya dan Lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia ternyata sangat berpengaruh pada Si anak. Kerja keras berupa bujuk rayu dan “pungli tipu-tipu” buat Si anak harus dilakukan setiap saat, sampai mereka paham, dan kerasan tinggal serta mau sekolah di Brunei. Selain itu perasaan rindu tanah air dan keluarga akan selalu muncul ketika ada perayaan hari-hari besar. Seperti di saat Lebaran, tidak seperti di Indonesia di Brunei sangat sepi tidak ada takbir keliling, habis sholat langsung pulang. Toko-toko/kedai akan buka setelah pukul 12.00 siang. Bagi yang pertama kali dan kurang antsisipasi seperti yang saya alami sendiri, agak repot. Berangkat sholat tidak sarapan, setelah pulang sholat pusing-pusing (putar-putar) sampai ke Bandar Seri Begawan tidak satupun toko/kedai maupun tempat makan buka. Akhirnya balik lagi ke asrama “pecicilan” tidak juga nemu makanan karena student lokal langsung pulang ke rumah masing-masing. Untung masih ada mie instant satu bungkus. Ya sudah sambil mendengarkan “download Takbiran” makan mie instant rebus sebungkus berdua dengan teman saya, dan baru tahu kalau mie tersebut sudah lewat tanggal/expired setelah piringnya bersih. Saya lihat teman saya yang sudah berkeluarga, walaupun tersenyum matanya nampak berkaca-kaca. Barang kali ingat keluarganya...?
Satu hal yang kembali menjadi catatan saya adalah bahwa walaupun para pekerja formal/profesional ini telah menikmati kehidupan yang sangat baik, tidak ada keinginan untuk menjadi warga negara Brunei. Setelah kontrak kerja habis, kembali ke tanah air adalah pilihan yang utama, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka.
Bersambung…..
Apakah beliau-beliau ini lantas merasa puas dan melupakan asal-usul mereka ? Jawabannya tidak. Dari percakapan saya dengan beberapa orang dari beliau kurang lebih sebagai berikut :
“Bagaimanapun kami ini tidak akan pernah melupakan dari mana kami berasal. Kami-kami ini “terpaksa” mengabdi dan bekerja di sini karena itulah pilihan terbaik yang harus kami ambil. Bukannya sombong, di Brunei ini pendahulu-pendahulu kami juga mengharumkan nama Indonesia, dan hasil jerih payah kami juga mengalir ke tanah air serta mendukung perekonomian Indonesia”.
Sebagai manusia mereka juga tidak selamanya merasa senang. Duka yang paling mereka rasakan adalah ketika melihat nasib sesama TMI yang belum seberuntung beliau. Sebagai wujud dari simpati mereka, biasanya mereka akan mengambil tenaga sopir dan amah dari Indonesia. Perasaan bingung juga sempat mereka alami ketika pertama kali memboyong anak-anak mereka pindah ke Brunei. Budaya dan Lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia ternyata sangat berpengaruh pada Si anak. Kerja keras berupa bujuk rayu dan “pungli tipu-tipu” buat Si anak harus dilakukan setiap saat, sampai mereka paham, dan kerasan tinggal serta mau sekolah di Brunei. Selain itu perasaan rindu tanah air dan keluarga akan selalu muncul ketika ada perayaan hari-hari besar. Seperti di saat Lebaran, tidak seperti di Indonesia di Brunei sangat sepi tidak ada takbir keliling, habis sholat langsung pulang. Toko-toko/kedai akan buka setelah pukul 12.00 siang. Bagi yang pertama kali dan kurang antsisipasi seperti yang saya alami sendiri, agak repot. Berangkat sholat tidak sarapan, setelah pulang sholat pusing-pusing (putar-putar) sampai ke Bandar Seri Begawan tidak satupun toko/kedai maupun tempat makan buka. Akhirnya balik lagi ke asrama “pecicilan” tidak juga nemu makanan karena student lokal langsung pulang ke rumah masing-masing. Untung masih ada mie instant satu bungkus. Ya sudah sambil mendengarkan “download Takbiran” makan mie instant rebus sebungkus berdua dengan teman saya, dan baru tahu kalau mie tersebut sudah lewat tanggal/expired setelah piringnya bersih. Saya lihat teman saya yang sudah berkeluarga, walaupun tersenyum matanya nampak berkaca-kaca. Barang kali ingat keluarganya...?
Satu hal yang kembali menjadi catatan saya adalah bahwa walaupun para pekerja formal/profesional ini telah menikmati kehidupan yang sangat baik, tidak ada keinginan untuk menjadi warga negara Brunei. Setelah kontrak kerja habis, kembali ke tanah air adalah pilihan yang utama, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka.
Bersambung…..