Kamis, 25 Februari 2010

Bagian ke 3 : Tenaga Migran Indonesia di Sektor Formal dan Profesional

TMI yang bekerja di Brunei memang mayoritas adalah pekerja non formal. Namun kita sepatutnya berbangga hati karena dari 35.000 TMI tidak seluruhnya buruh bangunan atau amah. Sebanyak 26% diantaranya adalah pekerja di sektor formal dan profesional di berbagai bidang (lihat kisah sebelumnya). Periode kedatangan para TMI ke Brunei mempunyai ciri khas yang unik. Periode pertama adalah datangnya para dosen senior dalam ilmu sosial dan agama. Kedua, kedatangan para guru sekolah dan ustad/guru mengaji. Ketiga, periode datangnya pekerja bangunan dan amah, dan pekerja semi trampil. Periode ke empat, kelompok pekerja profesional perminyakan dan teknologi informasi.

Beberapa tahun setelah Negara Brunei Darussalam berdiri tahun 1984 dan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, banyak dosen dan guru yang didatangkan dari Indonesia. Untuk periode awal Prof. Madya Dr. Mangantar Simanjutak jebolan UI, dan pernah belajar di Univ. Georgetown serta Univ. of Hawai ini pernah menjabat sebagai Prof. Madya Linguistik dan Bhs Melayu, Fakultas Sastra dan Sains Sosial, UBD. Kemudian Prof. Dr. Winarno Surakhmad Alumni UGM dan State Univ. USA pernah menjadi dosen di Institut Pendidikan Sultan Hassanal Bolkiah. Nama Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, MA, juga diakui kemampuanya dalam memajukan pendidikan di Brunei. Untuk periode sekarang Dr. Moh. Nabil Almunawar menjabat Ketua Jurusan Busines and Management, Faculty of Bussines Economic and Policy Studies (FBEBS), UBD. Dr. Abdurrahman Haqqi, adalah Dosen Senior di Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA), Gadong, Brunei. Di bidang Seni/Art di Brunei Darussalam, Bapak Drs. Ismaya Sukardi yang asli Wong Jogja, adalah masternya, karena jasa-jasanya di bidang pendidikan seni di Brunei, beliau mendapat penghargaan “Pingat Indah Kerja Baik” dari Sultan Hassanal Bolkiah di istana Nurul Iman. Berkat jasa beliau-beliau inilah nama Indonesia semakin harum dan dihargai di Brunei. Berhubung saat ini lulusan sarjana dari Brunei sendiri semakin banyak, maka jumlah dosen dan guru dari Indonesia di Brunei semakin berkurang.

Kemudian pada tahun 2007 tentunya masih kita ingat bahwa perusahaan Brunei Shell Petrolium (BSP) melakukan rekruitmen tenaga kerja perminyakan secara masal. Kemana tujuan utamanya ? Kemana lagi kalau bukan ke JAKARTA. Kala itu sebanyak 23 insinyur tenaga ahli di bidang explorasi maupun exploitasi perminyakan dan gas bumi hijrah ke Brunei. Sampai saat ini tenaga ahli perminyakan dan teknisi Indonesia telah menunjukkan repusatinya di Brunei, dan kemampuannya diakui dunia. Nama-nama seperti Bapak H. Widyoko, Bapak Ir. Agus Djamil, Msc (Ketua PERMAI) maupun teknisi muda seperti Mas Susatio, Mas Hariyadi tidaklah asing jika kita mengujungi Ladang Minyak Seria. Kemudian para ahli TI Indonesia, jebolan PTDI (PT Nurtanio Bandung), yang “terpaksa” lari ke segala penjuru dunia, beberapa diantaranya menjadi ahli TI di salah satu Kementrian Stratetgis di Brunei dan Royal Brunei Airlines. Teknisi Microsoft Brunei juga orang Indonesia.

Bagaimana dengan gaji mereka ? Jika dibanding dengan TMI non formal, tentu bukan tandingannya. Perbedaannya adalah berbalik 100% mereka dapat Gaji tinggi ditambah ekstra fasilitas, dari mulai rumah, transportasi, pendidikan dan kesehatan bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sebagai contoh Gaji Pensyarah/dosen Gelar Master mulai B$ 2.000 keatas belum termasuk bonus yang bisa dua kali lipat 1B$ Rp 6.500,-, dan untuk Gelar Doktor tinggal kalikan 2 sampai 3 lipat. Dan untuk yang disektor Utama Migas satu bulan gaji dapat dibelikan KERETA/Mobil. Ya… gaji layak, dan penghargaan memang sepantasnya menjadi hak mereka, karena semua itu mereka peroleh dengan kerja keras.











Inilah salah satu contoh hasil kerja keras tenaga profesional di Brunei (Seria) gaji besar, plus mobil, rumah tinggal, fasilitas kesehatan dan pendidikan dan semuannya gratis-tis!!!

Apakah beliau-beliau ini lantas merasa puas dan melupakan asal-usul mereka ? Jawabannya tidak. Dari percakapan saya dengan beberapa orang dari beliau kurang lebih sebagai berikut :

“Bagaimanapun kami ini tidak akan pernah melupakan dari mana kami berasal. Kami-kami ini “terpaksa” mengabdi dan bekerja di sini karena itulah pilihan terbaik yang harus kami ambil. Bukannya sombong, di Brunei ini pendahulu-pendahulu kami juga mengharumkan nama Indonesia, dan hasil jerih payah kami juga mengalir ke tanah air serta mendukung perekonomian Indonesia”.

Sebagai manusia mereka juga tidak selamanya merasa senang. Duka yang paling mereka rasakan adalah ketika melihat nasib sesama TMI yang belum seberuntung beliau. Sebagai wujud dari simpati mereka, biasanya mereka akan mengambil tenaga sopir dan amah dari Indonesia. Perasaan bingung juga sempat mereka alami ketika pertama kali memboyong anak-anak mereka pindah ke Brunei. Budaya dan Lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia ternyata sangat berpengaruh pada Si anak. Kerja keras berupa bujuk rayu dan “pungli tipu-tipu” buat Si anak harus dilakukan setiap saat, sampai mereka paham, dan kerasan tinggal serta mau sekolah di Brunei. Selain itu perasaan rindu tanah air dan keluarga akan selalu muncul ketika ada perayaan hari-hari besar. Seperti di saat Lebaran, tidak seperti di Indonesia di Brunei sangat sepi tidak ada takbir keliling, habis sholat langsung pulang. Toko-toko/kedai akan buka setelah pukul 12.00 siang. Bagi yang pertama kali dan kurang antsisipasi seperti yang saya alami sendiri, agak repot. Berangkat sholat tidak sarapan, setelah pulang sholat pusing-pusing (putar-putar) sampai ke Bandar Seri Begawan tidak satupun toko/kedai maupun tempat makan buka. Akhirnya balik lagi ke asrama “pecicilan” tidak juga nemu makanan karena student lokal langsung pulang ke rumah masing-masing. Untung masih ada mie instant satu bungkus. Ya sudah sambil mendengarkan “download Takbiran” makan mie instant rebus sebungkus berdua dengan teman saya, dan baru tahu kalau mie tersebut sudah lewat tanggal/expired setelah piringnya bersih. Saya lihat teman saya yang sudah berkeluarga, walaupun tersenyum matanya nampak berkaca-kaca. Barang kali ingat keluarganya...?

Satu hal yang kembali menjadi catatan saya adalah bahwa walaupun para pekerja formal/profesional ini telah menikmati kehidupan yang sangat baik, tidak ada keinginan untuk menjadi warga negara Brunei. Setelah kontrak kerja habis, kembali ke tanah air adalah pilihan yang utama, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka.

Bersambung…..

PERJUANGAN SANG “PAHLAWAN DEVISA” INDONESIA DI NEGERI JIRAN, BRUNEI DARUSSALAM

Bagian II : Suka Duka Menjadi Tenaga Migran Indonesia di Sektor Informal

Istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sebenarnya kurang tepat untuk menyebut pekerja Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri. TKI bisa diartikan semua Tenaga Kerja dari Indonesia, baik yang bekerja didalam maupun luar negeri. Akan lebih baik jika istilah tersebut diganti dengan Tenaga Migran Indonesia (TMI). Di fora internasionalpun istilah Migrant worker sudah lama digunakan. Sebagai contoh China menggunakan istilah “Overseas” untuk menyebut tenaga migran dari negara Tirai bambu tersebut. TMI di Brunei pada umumnya bekerja di sektor non formal (pelayan toko, PRT/Amah, buruh bangunan, sopir bus, kondektur cleaning service, pedagang dll). Empat sektor yang saat ini dominan adalah Amah, sopir, tukang kebun dan buruh bangunan. Namun banyak yang menjadi Guru di SD, SMP, SMA, Dosen di Perguruan Tinggi, ataupun manajer hotel. Atau tenaga ahli di Petrolium (BP Migas), Shell Brunei, Dephan maupun menduduki jabatan penting di sejumlah Kementrian Brunei.

Untuk tenaga kerja non formal kelemahan umum para TMI adalah kurang atau tidak menguasai bahasa Inggris sehingga kalah bersaing dengan tenaga migrant dari negara lain misalnya Philipina. Hal ini tentu berdampak pada kecilnya gaji mereka. Contohnya, Pekerja dari Indonesia sebenarnya termasuk golongan yang ulet dan rajin, ketika mereka sedang bekerja tiba-tiba ada Manajer orang asing menegur “What are you doing ?” atau pertanyaan sederhana lainnya karena tidak tahu harus menjawab apa “a… I… ueo” Si Bule/orang asing tersebut langsung berkata “You are so bad, lazy and so on and so on”. Kalau posisi dia adalah sebagai pelayan restoran, maka jika ada customer asing bertanya/order yang maju pasti orang Philipina. Bahkan di salah satu restoran Padang terkenal di Brunei “terpaksa” memperkejakan orang Philipina “sungguh sayang”.

Ada hal yang “lucu dan konyol” bahwa kata-kata guyonan salah satu Mantan Presiden RI yang mengatakan bahwa Jika gaji pembantu/Amah di Brunei lebih besar dari Gaji guru, maka banyak guru di Indonesia akan berhenti jadi guru dan memilih menjadi Amah. Ini dimanfaatkan orang-orang Brunei untuk tidak memberi/menaikan gaji PRT melebihi gaji guru di Indonesia atau kira-kira tidak akan lebih dari B$ 250 perbulan. Padahal Amah disini bekerja ekstra berat. Sebagai gambaran seorang Amah akan bekerja sepanjang pagi, siang hingga larut malam, mengapa ?

Karena Si Amah harus melayani keluarga besar yang terdiri dari keluarga kakek, anak hingga cucu. Atau dengan kata lain “majikannya satu temanya banyak”. Keluarga disini lebih senang hidup berkumpul dalam satu rumah. Namun ada juga Amah yang bernasib baik dan mendapatkan majikan baik hati. Biasanya majikan western/bule. Tidak heran Amah bernasib baik sperti ini sering diajak ke luar negeri oleh majikannya misal ke Inggris atau negara-negara Eropa lainnya.
Bahkan untuk menggambarkan betapa mulia jasa Si Amah dari Indonesia bagi diri dan keluarganya, salah seorang Bule bernama John Onu Odihi, Phd (Lecturer, di UBD) membuat Puisi dalam bahasa Inggris sederhana seperti ini :


AMAH,
Lady in the morning
Timely like the clock
You wake up early And retire to bed late
How you work
Tireless like the heart
Should you stop working
Life will go foul for them
That feed from your sweat
Amah you are Mother
In another name
How grateful
We are
To you
Lady of the late night
You stay up to make sure
Each time we wake up
The house is clean
And the food is ready
Forgive us Oh Amah forgive us
For taking you for granted
When we should learn from you
To thank the almighty for his graces
Had our geography been different
Our destiny perhaps would be yours
And yours would be ours
Thank you Amah
God bless you
Always.

Dari sini kita bisa belajar bahwa hati seorang bule/western seringkali lebih memiliki budaya ketimuran daripada “Orang Timur” sendiri.


Kembali ke “aturan tanpa pedoman diatas” selain menyengsarakan Amah ternyata sering juga menimpa TMI di sektor informal lainnya, seperti pelayan toko, pelayan restoran, buruh bangunan maupun sopir dari Indonesia. Mulai gaji yang dibawah standar Labor Act Brunei, hingga majikan yang “lupa dan telat” membayar gaji mereka. Mereka tidak berdaya lagi-lagi karena “background education” dan budaya “nrimo” yang menyebabkan mereka tidak mau membela diri.

Sebut saja Pakde (dari Kebumen), sedang memundurkan Bus Jalur 22 yang akan melayani trayek BSB-Rimba-UBD, beliau dan TMI non formal lainnya merasakan imbas dari ” guyonan” yang kurang tepat itu.


Adakalanya karena ketidaktahuan mereka, hal-hal yang sebenarnya masalah kecil akan sangat menyulitkan mereka di kemudian hari. Umpamanya secara tidak sengaja melanggar aturan-aturan/larangan yang berlaku di Brunei.

Contoh beberapa larangan bagi pendatang di Brunei ;
1. Pada umumnya setiap tindak kriminal dilarang di Brunei dan hukumannya sangat berat.
2. Berkumpul membicarakan politik lebih dari 7 orang diatas jam 10 malam adalah dilarang. Undang-undang Darurat 1968 masih diberlakukan hingga saat ini. Adalah hal yang tabu membicarakan “Number One and family ” di khalayak umum, meskipun itu menyangkut hal-hal yang baik.
3. Jangan sekali-kali mencoba untuk melakukan pelanggaran lalu lintas sekecil apapun sanksinya tidak akan anda perkirakan sebelumnya.
4. Jika anda mempunyai sahabat orang “asli” agar berpandai-pandailah dalam membawa diri, jika tidak maka derajat anda akan direndahkan atau ditipu mentah-mentah.
5. Jika anda muslim jangan coba-coba membawa atau minum-minuman keras.
6. Jangan merokok ditempat umum
7. Dilarang memasang kaca film/gelap pada kereta (mobil), kecuali ada ijin tertentu.
8. Membawa Dadah/narkoba Hukuman Mati menunggumu.

Jika anda melakukan pelanggaran atau mencoba untuk melakukan tindakan yang dilarang tersebut, biasanya ada orang lain yang akan melaporkan tindakan anda dan secara tiba-tiba anda akan didatangi aparat yang berwenang. Hukuman bagi “pendatang” tidak ada kompromi.

Saya kebetulan dapat contoh dari teman Si pelaku : Bagaimana bisa terjadi sebuah pisang ditebus dengan $B 500 (Rp 3 juta). Suatu hari ada empat orang buruh bangunan yang berasal dari Indonesia 2 orang, dan Thailand 2 orang. Mereka berempat diberi tugas untuk memperbaiki bangunan rumah orang Brunei. Di suatu siang yang terik (di Katulistiwa lebih terik dibanding di pulau Jawa) mereka berempat iseng mengambil 4 buah pisang yang masak di pohon kepunyaan orang Brunei tersebut. Mereka pikir, apa salahnya di siang yang terik sambil istrahat makan pisang, lagi pula pohon ini milik orang yang sedang mereka bangun rumahnya. Apa yang terjadi, ketika mereka sedang asyik memakan buah pisang tadi, pemilik rumah pulang. Dan menanyakan siapa yang menyuruh mengambil buah pisang tersebut. Anda tahu apa yang dilakukan selanjutnya ? Tiada ma’af bagi keempat orang tersebut. Tidak beberapa lama kemudian datanglah Polisi menangkap mereka dengan tuduhan tertangkap basah mencuri pisang. Setelah melalui serangkaian sidang yang bagi mereka melelahkan dan menakutkan, mereka berempat diberi dua pilihan denda B$ 2.000,- (12 juta rupiah) atau dipenjara. Tentu yang mereka pilih adalah membayar denda. Akhirnya keempat orang tersebut bekerja satu bulan di rumah tersebut tanpa digaji, karena gajinya dijadikan jaminan pembayaran denda. Ya satu buah pisang dihargai Rp. 3 Juta. Jadi tidak heran jika di Brunei sedang musim buah, entah itu buah mangga, durian, pisang maupun rambutan. Selain pemilik pohon tidak akan ada yang berani mengambil sampai jatuh sendiri, bagi yang paham “cukup melihat saja” dan kalau kepingin beli saja di Tamu (Pasar) Kianggeh. Harganya murah $B 2.000,- dapat satu kereta lori (truk) pisang, karena satu sisir Pisang Kepok hanya $B 1. Apalagi kalau beli pisangnya di Pasar Tradisional di Purworejo sana, satu kampung kebagian semua.

Saya berharap dari sekedar cerita ini, kepada calon TMI khususnya dari Purworejo yang akan mengadu nasib ke luar negeri, mohon agar dipikirkan dengan sebaik-baiknya sebelum mengambil keputusan. Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang negara yang akan dituju. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.

Catatan :
Istilah TKI menjadi TMI dan Puisi untuk Amah adalah kutipan dari Buku “KIPRAH” Kenang-Kenangan 20 Tahun Persatuan Masyarakat Indonesia di Brunei Darussalam (PERMAI) tahun 2008.

Bersambung……

Senin, 01 Februari 2010

PERJUANGAN SANG “PAHLAWAN DEVISA” DI NEGERI JIRAN. TKI DI BRUNEI DARUSSALAM



Bagian I : Kisah Pak Iksan Dari Blitar. Sukses Lewat Perjuangan.

Negara Brunei Darussalam, setiap orang jika mendengar kata itu langsung terpikir sebuah negara yang kaya raya karena kandungan minyaknya luar biasa. Saya boleh katakan ya betul. Memang Brunei adalah Negara yang kaya akan minyak, dari minyak inilah pemacu utama denyut jantung kehidupan Negara Brunei Darussalam.

Sebagai negara yang kaya, makmur, ditambah lagi aman, damai dan bersih udaranya. Adalah wajar jika sampai saat ini Brunei menjadi daerah tujuan bagi banyak orang untuk memperbaiki nasib. Pada awalnya, pendatang terbanyak adalah tenaga kerja asal India, termasuk dari Bangladesh. Namun saat ini siapa lagi kalau bukan Indonesia.

Data terakhir menyebutkan bahwa dari 350.000 orang penduduk Brunei, 10% atau sekitar 30.000 lebih adalah pendatang dari Indonesia, bisa dikatakan setiap ada 10 orang Brunei berkumpul satu diantaranya adalah orang Indonesia. Kalau saat ini anda pergi jalan-jalan ke Bandar, Muara, Seria, Kuala Belait, dan bahkan ke Temburong pasti akan bertemu dengan orang Indonesia.

Bagaimana sulitnya pendatang ketika baru pertama kali ke Brunei ?

Sudah bukan rahasia umum lagi menjadi TKI yang sukses atau sering di sebut dengan kata-kata indah “PAHLAWAN DEVISA” menjadi impian para pencari kerja. Mereka melakuka ini semua karena di dalam negeri sendiri peluang memperoleh lapangan kerja sangat kecil. Segala usaha mereka tempuh, dan segala resiko akan mereka hadapi, demi bisa mengirimkan hasil jerih payahnya ke Keluarga mereka di Indonesia. Untuk menjelaskannya saya akan bercerita tentang usaha salah seorang Pahalawan Devisa, Bapak Iksan ketika akan berjuang mengadu nasib ke Brunei Darussalam.

Beliau adalah seorang lulusan SMA tanpa pekerjaan tetap dan senang menjadi relawan/TIM SAR. Namun sebagai orang awam dia juga berkeinginan mengadu nasib dengan merantau mencari pekerjaan di luar Pulau Jawa, pergilan beliau ke Pulau Kalimantan. Pada awalnya beliau bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan, buruh di pertambangan batu bara, dan kemudian pindah lagi ke perkebunan. Setelah mendengar di Brunei ada peluang untuk menjadi TKI dengan gaji lebih besar, akhirnya pulanglah beliau ke kampungnnya di Blitar, Jawa Timur, untuk mencari tambahan modal mengurus dokumen ke agen TKI. Berhubung modal satu-satunya yang beliau miliki adalah sepeda motor, maka dengan bermacam alasan dan tipu daya diambilnya motor itu dari keluarganya. Padahal motor tersebut digadaikan. Rupannya modal belum juga cukup. Akhirnya tanah warisan juga ikut melayang. Dengan modal yang telah dirasa cukup dan ditambah kemarahan keluarga berangkatlah beliau ke Brunei. Naik kapal laut selama dua minggu. Kapal tidak langsung ke Brunei akan tetapi singgah dulu di kamp penampungan agent TKI di Pontianak selama hampir satu bulan. Akhirnya khabar yang ditunggu datang, di Brunei ada lowongan kerja sebagai pelayan restoran. Berangkatlah beliau diantar agent penyalur TKI via jalan darat ke Brunei. Saya tidak bisa membayangkan saat itu jalan lintas Borneo Utara khususnya dari Pontianak seperti apa, ditambah mobil Travel/Elp yang diisi muatan melebihi kapasitas. Jarak tempuh masih sekitar tiga hari. Bahkan ketika sampai di Brunei beliau tidak percaya “Kok masih banyak hutan”, apa benar ini sudah sampai ke Brunei, yang istana dan masjidnya saja ada yang terbuat Emas, mana tidak ada ?”

Apakah langsung bekerja di restoran ? tidak, ternyata mereka dibawa berputar-putar hingga payah kemudian diturunkan di daerah Kuala Lurah dekat perbatasan dengan Limbang ya.. mereka “KENA TIPU….” Mereka memang dipekerjakan di restoran tapi restoran kedai, hanya sebagai tukang cuci piring dan pengupas kelapa. Dan sebagian lainnya dibawa lagi entah kemana….? Jangankan gaji yang besar, untuk makan saja saat itu susah, karena sebagian gaji untuk melunasi jaminan kepada agent pengirim. Hingga untuk mengurus perpanjangan pasport mereka rela tidak digaji berbulan-bulan (sebenarnya hanya untuk ngurus IC, dan visa). Akhirnya ada juga orang Brunei yang berbaik hati ketika bertemu beliau di kedai dan menawarkan kebaikan. Istilahnya menjadi penjamin asal mau bekerja ditempatnya. Ikutlah beliau kekeluarga Brunei tersebut. Hingga belajar menyetirpun dijalani ketika beliau numpang hidup disitu. Pofesinyapun meningkat jadi sopir keluarga di Brunei. Dari sinilah beliau sering diajak majikannya keliling Brunei dan kenal dengan banyak orang penting di Brunei. Diajak jalan-jalan ke luar negeri oleh majikan. Khabar tentang keahlian beliau di bidang relawan/Tim SAR sampai juga ke beberapa sekolah di Brunei. Beliau juga pernah ikut membantu melatih TIM SAR dan Pengakap/Pandu di UBD. Keahliannya tersebut juga menjadi penolong/menjadi pekerjaan utama bagi diri Pak Iksan. Hingga akhirnya beliau bisa diterima nyambi sebagai sopir jemputan, sekaligus agen PO Bus Damri di Bandar Seribegawan, bahkan istrinya dibawa serta untuk bekerja di Brunei. Karena pengalamannya menjelajah di Boreno Utara, tidak jarang beliau dipercaya untuk mengantar tamu yang akan pergi ke Serawak maupun Sabah. Sedangkan anak-anaknya tetap tinggal di Indonesia bersama Embahnya di Jawa Timur, dan kalau liburan sekolah sering diajak main ke Brunei.

Sebagai WNI yang berpengalaman dalam perantauan beliu bertutur, bagi calon TKI yang berminat bekerja di negeri Jiran, sebaiknya kenali dahulu negara tujuan yang akan dipilih (bahasa sononya “mapping”). Jaman sekarang informasi lebih mudah diakses, tidak seperti jaman beliau dahulu. Siapkan segala-galanya dengan baik dan mantap. Jangan sampai pengalaman pahit beliau kembali menimpa WNI/calon TKI lainnya. Jika anak-anaknya sudah selesai sekolah semua dan umur semakin tua, beliau tetap akan pulang ke Indonesia tanah kelahiran yang dicintainya. “Hidup di luar negeri memang indah, namun lebih indah hidup sampai akhir hayat di Negeri Sendiri.”

Gambar dibawah ini adalah salah satu contoh, Jika Anda tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Anda tidak siap dengan kemungkinan terburuk yang akan dihadapi di Negara Orang …..ya terpaksa tinggal di “Rumah Bedeng” di tengah hutan Borneo Utara dan jauh dari mana-mana. Seperti ini gambarannya ....!!!



“Tentu saja anda akan tidur ditemani rembulan, nyamuk, dan suara penghuni hutan.”


Bersambung………………..