Minggu, 23 Mei 2010

SEPENGGAL CERITA SEPUTAR KUNJUNGAN PRESIDEN SOEKARNO KE DESA NGANDAGAN TAHUN 1947

Sebuah desa yang tenang, dengan kondisi geografi berupa hamparan sawah dan perbukitan. Desa Ngandagan, terletak di sebelah barat laut Kabupaten Purworejo. Siapa yang menyangka bahwa Desa ini pada jaman kejayaanya sekitar tahun 1947, merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Pituruh yang pernah dikunjungi oleh Presiden RI yang pertama Ir. Soekarno.

Mengapa Presiden Soekarno sampai berkunjung ke Desa Ngandagan ?

Dibawah kepemimpinan seorang Glondhong (lurah) yang jujur, cerdas, bijaksana dan “mumpuni” bernama Sumotirto dengan nama kecil Mardikun (1946-1963) Desa Ngandagan menjadi sebuah desa percontohan yang sangat terkenal. Tidak heran para pejabat pemerintahan dengan mobilnya yang saat itu merupakan barang langka sering terlihat hilir mudik mengunjungi Desa itu. Dari sekedar rekreasi hingga yang bertujuan melakukan peninjauan. Belum lagi kunjungan murid-murid sekolah maupun masyarakat umum dari berbagai daerah. Bahkkan tidak heran ketika itu tahun 1960 seorang mahasiswa pernah melakukan penelitian (1961-1981) hasilnya : Land Reform in a Javanese Village Ngandagan : a case study on the role of Lurah in decision making prosess dan pada tahun 2009 kembali muncul dengan Judul Dari Desa ke Agenda Bangsa (Dari Ngandagan Jawa Tengah sampai Porto Alegre Brazil) siapa lagi penulisnya kalau bukan (Dr. HC) Ir. Gunawan Wiradi M. Soc. S.c yang cukup dikenal di IPB Bogor.

Hamparan sawah yang menghijau di Desa Ngandagan

Melalui cerita dari saksi hidup antara lain menyebutkan bahwa dibawah kepemimpinan Glondhong Sumotirto tidak ada warga desa yang malas (bhs jawa gembeng), tidak ada maling berani mengusik ketentraman desa. Yang membuat saya merinding “tidak ada rumput yang boleh tumbuh megotori jalan Desa Ngandagan”. Walaupun terkesan otoriter dan disiplin semua warga desa saat itu merasakan kemakmuran dan ketentraman.

Jadilah Desa Ngandagan menjadi Desa percontohan, sepanjang jalan yang bersih ditaburi kerikil, kiri-kanan jalan ditanami pohon Pepaya Unggul berbuah sangat lebat dan besar-besar. Dari kejauhan bukit yang menghijau ditanami pohon jeruk dan buahnya juga sangat lebat, dibawahnya terdapat kolam ikan dengan airnya yang sangat jernih. Dan di ujung bukit yang kelihatan “mecucu” karena terletak di ketinggian, terdapat tempat peristirahatan Gua Gunung Pencu. Saya hanya bisa membayangkan bagaimana pemikiran seorang lurah yang sangat maju di jaman itu, jika dikaitkan dengan konsep Desa Wisata yang tengah digembar-gemborkan, diwacanakan, namun belum bisa diwujudkan hingga sekarang. Ternyata berpuluh-puluh tahun yang silam telah dicontohkan dengan sempurna oleh seorang Glondhong bernama Sumotirto tanpa meminta bantuan dari pemerintah alias berdikari.

Mengapa warga Desa Ngandagan saat itu sangat menghormati dan mencintai kepemimpinan beliau ? Jawabanya adalah karena beliau memimpin melalui pendekatan kesejahteraan, kejujuran, disiplin dan pemberian sanksi yang keras. Sebagai contoh jika ada warga yang akan mantu atau khitanan, maka beliau akan meminta perangkat desa mendata siapa-siapa yang akan mantu atau khitanan. Setelah didata maka beliau sendiri yang akan menanggung biaya hajatan dan khitanan tersebut secara masal. Ini sekaligus menjadi hiburan tersendiri bagi warga di luar desa yang akan mengunjungi Desa Ngandagan. Yang terkenal hingga saat ini beliau pernah menikahkan 21 orang pasangan pengantin. Warga Desa Ngandagan benar-benar merasa diayomi sang pemimpin mereka.

Hasil pertanianpun tidak boleh dijual kepada tengkulak, tetapi harus dijual ke pasar. Jika ada warga yang masih tinggal di gunung, maka akan dibantu dipindahkan ke tanah desa dan dibantu membangun rumahnya atau istilah kerennya resettlement . Jika ada pencuri yang tertangkap di desanya maka pencuri itu akan beliau bina, menjadi orang baik dan bila perlu dicarikan jodoh dari warga Desa Ngadagan. Jika masih ada warganya yang nempur beras untuk makan, maka beliau tidak segan akan memberinya bantuan beras. Melalui Land reform kepemilikan tanah diupayakan supaya lebih adil antara lain dengan cara memberikan tanah garapan kepada rakyat miskin dan Tunakisma. Tanah desa tidak boleh dijual kepada orang dari luar desa (beberapa desa masih menerapkan aturan ini hingga sekarang). Karena akan terkait dengan sumbangan tenaga kerja pemilik tanah yang harus disumbangkan kepada kemajuan desa istilah orang kampung “kerigan/kerja bakti”.

Beliau ini juga terkenal sebagai penggemar seni dan juga mempunyai jiwa seni. Untuk menarik para pengunjung beliu juga tidak segan menanggap berbagai kesenian tradisional untuk menghibur warganya maupun warga dari luar Desa Ngandagan. Konon disamping rumah beliau yang ada kaki bukit terdapat rumah panggung khusus untuk menggelar/menanggap kesenian tradisional seperti wayang kulit, wayang orang dan kethoprak.

Ketenaran Desa Ngandagan sebagai desa percontohan memberikan daya tarik tersendiri bagi Presiden Soekarno kala itu. Ir. Soekarno mengunjungi Desa Ngandagan pada tahun 1947. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk meninjau keberhasilan proyek pertanian jeruk dan perikanan di Desa Ngandagan. Selain itu ada cerita juga bahwa Presiden Soekarno dan Glondhong Sumotirto pernah belajar pada "Guru" yang sama. Sebagaiman layaknya ketika suatu daerah akan mendapat kunjungan dari Sang Presiden. Sepanjang jalan dari arah Kemiri sampai Pituruh didirikan posko-posko penyambutan. Beragam kesenian tradisional memamerkan kepiawaiannya. Bermacam-macam hasil pertanian unggulan dipamerkan dan warga yang berminat dipersilahkan menikmati secara cuma-cuma.

Ketika rombongan Presiden Ir. Soekarno tiba di Desa Ngandagan, ribuan rakyat pengagum beliau berdesak-desakan untuk turut menyambut ataupun hanya sekedar ingin melihat langsung sosok Presiden yang mereka puja itu. Dalam pidatonya beliau memuji kemandirian Warga Desa Ngandagan bersama Glondhong Sumotirto dalam membangun desanya. Dalam pidato/dialognya dengan warga desa, kurang lebih “Aku kudu nganggo basa krama apa ngoko ? serentak dijawab ngoko…!!. Desa Ngadagan pancen hebat, ora perlu bantuan saka pemerintah nanging bisa dadi desa kang maju….Berlangsunglah dialog rakyat dengan Presiden di depan rumah Glondhong Sumotirto. Kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian rakyat yang tidak henti-hentinya menunjukkan kebolehan mereka.

Kunjungan dilanjutkan dengan meninjau tempat peristirahatan Gunung Pencu. Presiden Soekarno kembali menguji kepandaian warga desa. “Ayo sapa sing bisa nulis jenengku …maju ! Maka majulah salah seorang sukarelawan menulis Sukarno dengan aksara jawa. Namun ada kesalahan dalam menulis nama Soekarno, karena didepan huruf “Sa” yang disuku kelebihan huruf “Ha”, sehingga bunyinya “* Sukarno” dan semua yang hadir tertawa. Yang menarik Presiden Soekarno tidak marah bahkan memaklumi dan ikut tertawa. Kemudian Presiden Soekarno dengan sabar membimbingnya sambil menulis “ Sa disuku unine apa..? secara serentak masyarakat yang hadir menjawab Su…, banjur Ka dilayar Kar…, terus Na ditaling lan diwenehi tarung diwaca No… dadi wacane Su-kar-no”. Rakyat pun senang karena dibimbing Presiden Soekarno. Bapak saya sendiri juga menyaksikan beliau ketika memasuki Gua Gunung Pencu melalui pintu sebelah timur, karena pintunya cukup rendah untuk ukuran Presiden Soekarno, maka beliau harus menunduk dan melepas kopiahnya.


Pintu Timur, tempat Presiden Soekarno menikmati kesejukan Gunung Pencu kini ditumbuhi semak-semak. Lorong bagian dalam batu cadasnya diselimuti lumut dan akar-akar pohon menyembul disela-selanya.

Namun rangkaian kunjungan resmi tersebut hingga saat ini kurang dikenal, dan yang lebih mengemuka adalah bahwa kunjungan Presiden Soekarno ke Ngadagan (Gua Gunung Pencu) adalah untuk mengambil barang/pusaka. Ini sangat terasa ketika saya berjalan menyusuri jalan setapak ke Gua Gunung Pencu, langsung ditanya "Mas..badhe pados "barang/pusaka" tinggalane Pak Presiden Soekarno napa ?. Ternyata lubang galian yang menganga di tengah lorong Gua terkait dengan pertanyaan itu. Saya hanya bisa geleng kepala, jaman begini masih ada saja orang-orang seperti itu.


Prasasti Perjuangan 1945 sampai kapan mampu bertahan ?

Itulah sekelumit cerita seputar Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngandagan yang saya peroleh dari cerita saksi hidup, ketika kembali mengunjungi Gua Gunung Pencu pada bulan Mei 2010. Bagaimanapun Kunjungan Presiden Soekarno ke Desa Ngandagan tidak terlepas dari keberhasilan Glondhong Sumotirto dalam memimpin Desa Ngadagan. Pola kepemimpinan beliau dalam memajukan desa, bisa dijadikan contoh untuk memajukan pedesaan di Indonesia.

Saya juga teringat ketika saya masih duduk di SD sekitar 1980 an, Gua Gunung Pencu sempat menjadi kunjungan wajib bagi para siswa. Dengan berjalan kaki perjalanan dilanjutkan ke Gua Gong, Silumbu dan Watu Lawang yang terdapat di sebelah utara Desa Ngandagan. Saya masih tergiang ketika teman-teman sebaya dengan riang belarian dikomplek Gua gunung Pencu, sambil beradu pendapat mengira-ngira setiap apa yang kami lihat. Dahulu tempat itu sangat bersih dan sejuk. Namun sayang saat ini kondisinya memprihatinkan. Disana sini ditumbuhi semak, beberapa bangunan hancur, dan tulisan pembangkit semangat perjuangan 45 mulai memudar tergerus hujan dan lumut. Melalui coretan ini saya berharap semoga masih ada kepedulian dari pihak-pihak terkait untuk menyelamatkan bukti peninggalan sejarah tersebut, dan kalau kita mau mempelajari konsep pengembangan Desa Ngadagan waktu itu, potensi untuk dikembangkan menjadi tempat wisata alternatif di Purworejo sangat memungkinkan.

WB

Kamis, 25 Februari 2010

Bagian ke 3 : Tenaga Migran Indonesia di Sektor Formal dan Profesional

TMI yang bekerja di Brunei memang mayoritas adalah pekerja non formal. Namun kita sepatutnya berbangga hati karena dari 35.000 TMI tidak seluruhnya buruh bangunan atau amah. Sebanyak 26% diantaranya adalah pekerja di sektor formal dan profesional di berbagai bidang (lihat kisah sebelumnya). Periode kedatangan para TMI ke Brunei mempunyai ciri khas yang unik. Periode pertama adalah datangnya para dosen senior dalam ilmu sosial dan agama. Kedua, kedatangan para guru sekolah dan ustad/guru mengaji. Ketiga, periode datangnya pekerja bangunan dan amah, dan pekerja semi trampil. Periode ke empat, kelompok pekerja profesional perminyakan dan teknologi informasi.

Beberapa tahun setelah Negara Brunei Darussalam berdiri tahun 1984 dan membuka hubungan diplomatik dengan Indonesia, banyak dosen dan guru yang didatangkan dari Indonesia. Untuk periode awal Prof. Madya Dr. Mangantar Simanjutak jebolan UI, dan pernah belajar di Univ. Georgetown serta Univ. of Hawai ini pernah menjabat sebagai Prof. Madya Linguistik dan Bhs Melayu, Fakultas Sastra dan Sains Sosial, UBD. Kemudian Prof. Dr. Winarno Surakhmad Alumni UGM dan State Univ. USA pernah menjadi dosen di Institut Pendidikan Sultan Hassanal Bolkiah. Nama Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo, MA, juga diakui kemampuanya dalam memajukan pendidikan di Brunei. Untuk periode sekarang Dr. Moh. Nabil Almunawar menjabat Ketua Jurusan Busines and Management, Faculty of Bussines Economic and Policy Studies (FBEBS), UBD. Dr. Abdurrahman Haqqi, adalah Dosen Senior di Universiti Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA), Gadong, Brunei. Di bidang Seni/Art di Brunei Darussalam, Bapak Drs. Ismaya Sukardi yang asli Wong Jogja, adalah masternya, karena jasa-jasanya di bidang pendidikan seni di Brunei, beliau mendapat penghargaan “Pingat Indah Kerja Baik” dari Sultan Hassanal Bolkiah di istana Nurul Iman. Berkat jasa beliau-beliau inilah nama Indonesia semakin harum dan dihargai di Brunei. Berhubung saat ini lulusan sarjana dari Brunei sendiri semakin banyak, maka jumlah dosen dan guru dari Indonesia di Brunei semakin berkurang.

Kemudian pada tahun 2007 tentunya masih kita ingat bahwa perusahaan Brunei Shell Petrolium (BSP) melakukan rekruitmen tenaga kerja perminyakan secara masal. Kemana tujuan utamanya ? Kemana lagi kalau bukan ke JAKARTA. Kala itu sebanyak 23 insinyur tenaga ahli di bidang explorasi maupun exploitasi perminyakan dan gas bumi hijrah ke Brunei. Sampai saat ini tenaga ahli perminyakan dan teknisi Indonesia telah menunjukkan repusatinya di Brunei, dan kemampuannya diakui dunia. Nama-nama seperti Bapak H. Widyoko, Bapak Ir. Agus Djamil, Msc (Ketua PERMAI) maupun teknisi muda seperti Mas Susatio, Mas Hariyadi tidaklah asing jika kita mengujungi Ladang Minyak Seria. Kemudian para ahli TI Indonesia, jebolan PTDI (PT Nurtanio Bandung), yang “terpaksa” lari ke segala penjuru dunia, beberapa diantaranya menjadi ahli TI di salah satu Kementrian Stratetgis di Brunei dan Royal Brunei Airlines. Teknisi Microsoft Brunei juga orang Indonesia.

Bagaimana dengan gaji mereka ? Jika dibanding dengan TMI non formal, tentu bukan tandingannya. Perbedaannya adalah berbalik 100% mereka dapat Gaji tinggi ditambah ekstra fasilitas, dari mulai rumah, transportasi, pendidikan dan kesehatan bagi dirinya dan anggota keluarganya. Sebagai contoh Gaji Pensyarah/dosen Gelar Master mulai B$ 2.000 keatas belum termasuk bonus yang bisa dua kali lipat 1B$ Rp 6.500,-, dan untuk Gelar Doktor tinggal kalikan 2 sampai 3 lipat. Dan untuk yang disektor Utama Migas satu bulan gaji dapat dibelikan KERETA/Mobil. Ya… gaji layak, dan penghargaan memang sepantasnya menjadi hak mereka, karena semua itu mereka peroleh dengan kerja keras.











Inilah salah satu contoh hasil kerja keras tenaga profesional di Brunei (Seria) gaji besar, plus mobil, rumah tinggal, fasilitas kesehatan dan pendidikan dan semuannya gratis-tis!!!

Apakah beliau-beliau ini lantas merasa puas dan melupakan asal-usul mereka ? Jawabannya tidak. Dari percakapan saya dengan beberapa orang dari beliau kurang lebih sebagai berikut :

“Bagaimanapun kami ini tidak akan pernah melupakan dari mana kami berasal. Kami-kami ini “terpaksa” mengabdi dan bekerja di sini karena itulah pilihan terbaik yang harus kami ambil. Bukannya sombong, di Brunei ini pendahulu-pendahulu kami juga mengharumkan nama Indonesia, dan hasil jerih payah kami juga mengalir ke tanah air serta mendukung perekonomian Indonesia”.

Sebagai manusia mereka juga tidak selamanya merasa senang. Duka yang paling mereka rasakan adalah ketika melihat nasib sesama TMI yang belum seberuntung beliau. Sebagai wujud dari simpati mereka, biasanya mereka akan mengambil tenaga sopir dan amah dari Indonesia. Perasaan bingung juga sempat mereka alami ketika pertama kali memboyong anak-anak mereka pindah ke Brunei. Budaya dan Lingkungan yang berbeda dengan di Indonesia ternyata sangat berpengaruh pada Si anak. Kerja keras berupa bujuk rayu dan “pungli tipu-tipu” buat Si anak harus dilakukan setiap saat, sampai mereka paham, dan kerasan tinggal serta mau sekolah di Brunei. Selain itu perasaan rindu tanah air dan keluarga akan selalu muncul ketika ada perayaan hari-hari besar. Seperti di saat Lebaran, tidak seperti di Indonesia di Brunei sangat sepi tidak ada takbir keliling, habis sholat langsung pulang. Toko-toko/kedai akan buka setelah pukul 12.00 siang. Bagi yang pertama kali dan kurang antsisipasi seperti yang saya alami sendiri, agak repot. Berangkat sholat tidak sarapan, setelah pulang sholat pusing-pusing (putar-putar) sampai ke Bandar Seri Begawan tidak satupun toko/kedai maupun tempat makan buka. Akhirnya balik lagi ke asrama “pecicilan” tidak juga nemu makanan karena student lokal langsung pulang ke rumah masing-masing. Untung masih ada mie instant satu bungkus. Ya sudah sambil mendengarkan “download Takbiran” makan mie instant rebus sebungkus berdua dengan teman saya, dan baru tahu kalau mie tersebut sudah lewat tanggal/expired setelah piringnya bersih. Saya lihat teman saya yang sudah berkeluarga, walaupun tersenyum matanya nampak berkaca-kaca. Barang kali ingat keluarganya...?

Satu hal yang kembali menjadi catatan saya adalah bahwa walaupun para pekerja formal/profesional ini telah menikmati kehidupan yang sangat baik, tidak ada keinginan untuk menjadi warga negara Brunei. Setelah kontrak kerja habis, kembali ke tanah air adalah pilihan yang utama, sebagaimana yang telah dilakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka.

Bersambung…..

PERJUANGAN SANG “PAHLAWAN DEVISA” INDONESIA DI NEGERI JIRAN, BRUNEI DARUSSALAM

Bagian II : Suka Duka Menjadi Tenaga Migran Indonesia di Sektor Informal

Istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI), sebenarnya kurang tepat untuk menyebut pekerja Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri. TKI bisa diartikan semua Tenaga Kerja dari Indonesia, baik yang bekerja didalam maupun luar negeri. Akan lebih baik jika istilah tersebut diganti dengan Tenaga Migran Indonesia (TMI). Di fora internasionalpun istilah Migrant worker sudah lama digunakan. Sebagai contoh China menggunakan istilah “Overseas” untuk menyebut tenaga migran dari negara Tirai bambu tersebut. TMI di Brunei pada umumnya bekerja di sektor non formal (pelayan toko, PRT/Amah, buruh bangunan, sopir bus, kondektur cleaning service, pedagang dll). Empat sektor yang saat ini dominan adalah Amah, sopir, tukang kebun dan buruh bangunan. Namun banyak yang menjadi Guru di SD, SMP, SMA, Dosen di Perguruan Tinggi, ataupun manajer hotel. Atau tenaga ahli di Petrolium (BP Migas), Shell Brunei, Dephan maupun menduduki jabatan penting di sejumlah Kementrian Brunei.

Untuk tenaga kerja non formal kelemahan umum para TMI adalah kurang atau tidak menguasai bahasa Inggris sehingga kalah bersaing dengan tenaga migrant dari negara lain misalnya Philipina. Hal ini tentu berdampak pada kecilnya gaji mereka. Contohnya, Pekerja dari Indonesia sebenarnya termasuk golongan yang ulet dan rajin, ketika mereka sedang bekerja tiba-tiba ada Manajer orang asing menegur “What are you doing ?” atau pertanyaan sederhana lainnya karena tidak tahu harus menjawab apa “a… I… ueo” Si Bule/orang asing tersebut langsung berkata “You are so bad, lazy and so on and so on”. Kalau posisi dia adalah sebagai pelayan restoran, maka jika ada customer asing bertanya/order yang maju pasti orang Philipina. Bahkan di salah satu restoran Padang terkenal di Brunei “terpaksa” memperkejakan orang Philipina “sungguh sayang”.

Ada hal yang “lucu dan konyol” bahwa kata-kata guyonan salah satu Mantan Presiden RI yang mengatakan bahwa Jika gaji pembantu/Amah di Brunei lebih besar dari Gaji guru, maka banyak guru di Indonesia akan berhenti jadi guru dan memilih menjadi Amah. Ini dimanfaatkan orang-orang Brunei untuk tidak memberi/menaikan gaji PRT melebihi gaji guru di Indonesia atau kira-kira tidak akan lebih dari B$ 250 perbulan. Padahal Amah disini bekerja ekstra berat. Sebagai gambaran seorang Amah akan bekerja sepanjang pagi, siang hingga larut malam, mengapa ?

Karena Si Amah harus melayani keluarga besar yang terdiri dari keluarga kakek, anak hingga cucu. Atau dengan kata lain “majikannya satu temanya banyak”. Keluarga disini lebih senang hidup berkumpul dalam satu rumah. Namun ada juga Amah yang bernasib baik dan mendapatkan majikan baik hati. Biasanya majikan western/bule. Tidak heran Amah bernasib baik sperti ini sering diajak ke luar negeri oleh majikannya misal ke Inggris atau negara-negara Eropa lainnya.
Bahkan untuk menggambarkan betapa mulia jasa Si Amah dari Indonesia bagi diri dan keluarganya, salah seorang Bule bernama John Onu Odihi, Phd (Lecturer, di UBD) membuat Puisi dalam bahasa Inggris sederhana seperti ini :


AMAH,
Lady in the morning
Timely like the clock
You wake up early And retire to bed late
How you work
Tireless like the heart
Should you stop working
Life will go foul for them
That feed from your sweat
Amah you are Mother
In another name
How grateful
We are
To you
Lady of the late night
You stay up to make sure
Each time we wake up
The house is clean
And the food is ready
Forgive us Oh Amah forgive us
For taking you for granted
When we should learn from you
To thank the almighty for his graces
Had our geography been different
Our destiny perhaps would be yours
And yours would be ours
Thank you Amah
God bless you
Always.

Dari sini kita bisa belajar bahwa hati seorang bule/western seringkali lebih memiliki budaya ketimuran daripada “Orang Timur” sendiri.


Kembali ke “aturan tanpa pedoman diatas” selain menyengsarakan Amah ternyata sering juga menimpa TMI di sektor informal lainnya, seperti pelayan toko, pelayan restoran, buruh bangunan maupun sopir dari Indonesia. Mulai gaji yang dibawah standar Labor Act Brunei, hingga majikan yang “lupa dan telat” membayar gaji mereka. Mereka tidak berdaya lagi-lagi karena “background education” dan budaya “nrimo” yang menyebabkan mereka tidak mau membela diri.

Sebut saja Pakde (dari Kebumen), sedang memundurkan Bus Jalur 22 yang akan melayani trayek BSB-Rimba-UBD, beliau dan TMI non formal lainnya merasakan imbas dari ” guyonan” yang kurang tepat itu.


Adakalanya karena ketidaktahuan mereka, hal-hal yang sebenarnya masalah kecil akan sangat menyulitkan mereka di kemudian hari. Umpamanya secara tidak sengaja melanggar aturan-aturan/larangan yang berlaku di Brunei.

Contoh beberapa larangan bagi pendatang di Brunei ;
1. Pada umumnya setiap tindak kriminal dilarang di Brunei dan hukumannya sangat berat.
2. Berkumpul membicarakan politik lebih dari 7 orang diatas jam 10 malam adalah dilarang. Undang-undang Darurat 1968 masih diberlakukan hingga saat ini. Adalah hal yang tabu membicarakan “Number One and family ” di khalayak umum, meskipun itu menyangkut hal-hal yang baik.
3. Jangan sekali-kali mencoba untuk melakukan pelanggaran lalu lintas sekecil apapun sanksinya tidak akan anda perkirakan sebelumnya.
4. Jika anda mempunyai sahabat orang “asli” agar berpandai-pandailah dalam membawa diri, jika tidak maka derajat anda akan direndahkan atau ditipu mentah-mentah.
5. Jika anda muslim jangan coba-coba membawa atau minum-minuman keras.
6. Jangan merokok ditempat umum
7. Dilarang memasang kaca film/gelap pada kereta (mobil), kecuali ada ijin tertentu.
8. Membawa Dadah/narkoba Hukuman Mati menunggumu.

Jika anda melakukan pelanggaran atau mencoba untuk melakukan tindakan yang dilarang tersebut, biasanya ada orang lain yang akan melaporkan tindakan anda dan secara tiba-tiba anda akan didatangi aparat yang berwenang. Hukuman bagi “pendatang” tidak ada kompromi.

Saya kebetulan dapat contoh dari teman Si pelaku : Bagaimana bisa terjadi sebuah pisang ditebus dengan $B 500 (Rp 3 juta). Suatu hari ada empat orang buruh bangunan yang berasal dari Indonesia 2 orang, dan Thailand 2 orang. Mereka berempat diberi tugas untuk memperbaiki bangunan rumah orang Brunei. Di suatu siang yang terik (di Katulistiwa lebih terik dibanding di pulau Jawa) mereka berempat iseng mengambil 4 buah pisang yang masak di pohon kepunyaan orang Brunei tersebut. Mereka pikir, apa salahnya di siang yang terik sambil istrahat makan pisang, lagi pula pohon ini milik orang yang sedang mereka bangun rumahnya. Apa yang terjadi, ketika mereka sedang asyik memakan buah pisang tadi, pemilik rumah pulang. Dan menanyakan siapa yang menyuruh mengambil buah pisang tersebut. Anda tahu apa yang dilakukan selanjutnya ? Tiada ma’af bagi keempat orang tersebut. Tidak beberapa lama kemudian datanglah Polisi menangkap mereka dengan tuduhan tertangkap basah mencuri pisang. Setelah melalui serangkaian sidang yang bagi mereka melelahkan dan menakutkan, mereka berempat diberi dua pilihan denda B$ 2.000,- (12 juta rupiah) atau dipenjara. Tentu yang mereka pilih adalah membayar denda. Akhirnya keempat orang tersebut bekerja satu bulan di rumah tersebut tanpa digaji, karena gajinya dijadikan jaminan pembayaran denda. Ya satu buah pisang dihargai Rp. 3 Juta. Jadi tidak heran jika di Brunei sedang musim buah, entah itu buah mangga, durian, pisang maupun rambutan. Selain pemilik pohon tidak akan ada yang berani mengambil sampai jatuh sendiri, bagi yang paham “cukup melihat saja” dan kalau kepingin beli saja di Tamu (Pasar) Kianggeh. Harganya murah $B 2.000,- dapat satu kereta lori (truk) pisang, karena satu sisir Pisang Kepok hanya $B 1. Apalagi kalau beli pisangnya di Pasar Tradisional di Purworejo sana, satu kampung kebagian semua.

Saya berharap dari sekedar cerita ini, kepada calon TMI khususnya dari Purworejo yang akan mengadu nasib ke luar negeri, mohon agar dipikirkan dengan sebaik-baiknya sebelum mengambil keputusan. Carilah informasi sebanyak-banyaknya tentang negara yang akan dituju. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.

Catatan :
Istilah TKI menjadi TMI dan Puisi untuk Amah adalah kutipan dari Buku “KIPRAH” Kenang-Kenangan 20 Tahun Persatuan Masyarakat Indonesia di Brunei Darussalam (PERMAI) tahun 2008.

Bersambung……

Senin, 01 Februari 2010

PERJUANGAN SANG “PAHLAWAN DEVISA” DI NEGERI JIRAN. TKI DI BRUNEI DARUSSALAM



Bagian I : Kisah Pak Iksan Dari Blitar. Sukses Lewat Perjuangan.

Negara Brunei Darussalam, setiap orang jika mendengar kata itu langsung terpikir sebuah negara yang kaya raya karena kandungan minyaknya luar biasa. Saya boleh katakan ya betul. Memang Brunei adalah Negara yang kaya akan minyak, dari minyak inilah pemacu utama denyut jantung kehidupan Negara Brunei Darussalam.

Sebagai negara yang kaya, makmur, ditambah lagi aman, damai dan bersih udaranya. Adalah wajar jika sampai saat ini Brunei menjadi daerah tujuan bagi banyak orang untuk memperbaiki nasib. Pada awalnya, pendatang terbanyak adalah tenaga kerja asal India, termasuk dari Bangladesh. Namun saat ini siapa lagi kalau bukan Indonesia.

Data terakhir menyebutkan bahwa dari 350.000 orang penduduk Brunei, 10% atau sekitar 30.000 lebih adalah pendatang dari Indonesia, bisa dikatakan setiap ada 10 orang Brunei berkumpul satu diantaranya adalah orang Indonesia. Kalau saat ini anda pergi jalan-jalan ke Bandar, Muara, Seria, Kuala Belait, dan bahkan ke Temburong pasti akan bertemu dengan orang Indonesia.

Bagaimana sulitnya pendatang ketika baru pertama kali ke Brunei ?

Sudah bukan rahasia umum lagi menjadi TKI yang sukses atau sering di sebut dengan kata-kata indah “PAHLAWAN DEVISA” menjadi impian para pencari kerja. Mereka melakuka ini semua karena di dalam negeri sendiri peluang memperoleh lapangan kerja sangat kecil. Segala usaha mereka tempuh, dan segala resiko akan mereka hadapi, demi bisa mengirimkan hasil jerih payahnya ke Keluarga mereka di Indonesia. Untuk menjelaskannya saya akan bercerita tentang usaha salah seorang Pahalawan Devisa, Bapak Iksan ketika akan berjuang mengadu nasib ke Brunei Darussalam.

Beliau adalah seorang lulusan SMA tanpa pekerjaan tetap dan senang menjadi relawan/TIM SAR. Namun sebagai orang awam dia juga berkeinginan mengadu nasib dengan merantau mencari pekerjaan di luar Pulau Jawa, pergilan beliau ke Pulau Kalimantan. Pada awalnya beliau bekerja sebagai kuli angkut pelabuhan, buruh di pertambangan batu bara, dan kemudian pindah lagi ke perkebunan. Setelah mendengar di Brunei ada peluang untuk menjadi TKI dengan gaji lebih besar, akhirnya pulanglah beliau ke kampungnnya di Blitar, Jawa Timur, untuk mencari tambahan modal mengurus dokumen ke agen TKI. Berhubung modal satu-satunya yang beliau miliki adalah sepeda motor, maka dengan bermacam alasan dan tipu daya diambilnya motor itu dari keluarganya. Padahal motor tersebut digadaikan. Rupannya modal belum juga cukup. Akhirnya tanah warisan juga ikut melayang. Dengan modal yang telah dirasa cukup dan ditambah kemarahan keluarga berangkatlah beliau ke Brunei. Naik kapal laut selama dua minggu. Kapal tidak langsung ke Brunei akan tetapi singgah dulu di kamp penampungan agent TKI di Pontianak selama hampir satu bulan. Akhirnya khabar yang ditunggu datang, di Brunei ada lowongan kerja sebagai pelayan restoran. Berangkatlah beliau diantar agent penyalur TKI via jalan darat ke Brunei. Saya tidak bisa membayangkan saat itu jalan lintas Borneo Utara khususnya dari Pontianak seperti apa, ditambah mobil Travel/Elp yang diisi muatan melebihi kapasitas. Jarak tempuh masih sekitar tiga hari. Bahkan ketika sampai di Brunei beliau tidak percaya “Kok masih banyak hutan”, apa benar ini sudah sampai ke Brunei, yang istana dan masjidnya saja ada yang terbuat Emas, mana tidak ada ?”

Apakah langsung bekerja di restoran ? tidak, ternyata mereka dibawa berputar-putar hingga payah kemudian diturunkan di daerah Kuala Lurah dekat perbatasan dengan Limbang ya.. mereka “KENA TIPU….” Mereka memang dipekerjakan di restoran tapi restoran kedai, hanya sebagai tukang cuci piring dan pengupas kelapa. Dan sebagian lainnya dibawa lagi entah kemana….? Jangankan gaji yang besar, untuk makan saja saat itu susah, karena sebagian gaji untuk melunasi jaminan kepada agent pengirim. Hingga untuk mengurus perpanjangan pasport mereka rela tidak digaji berbulan-bulan (sebenarnya hanya untuk ngurus IC, dan visa). Akhirnya ada juga orang Brunei yang berbaik hati ketika bertemu beliau di kedai dan menawarkan kebaikan. Istilahnya menjadi penjamin asal mau bekerja ditempatnya. Ikutlah beliau kekeluarga Brunei tersebut. Hingga belajar menyetirpun dijalani ketika beliau numpang hidup disitu. Pofesinyapun meningkat jadi sopir keluarga di Brunei. Dari sinilah beliau sering diajak majikannya keliling Brunei dan kenal dengan banyak orang penting di Brunei. Diajak jalan-jalan ke luar negeri oleh majikan. Khabar tentang keahlian beliau di bidang relawan/Tim SAR sampai juga ke beberapa sekolah di Brunei. Beliau juga pernah ikut membantu melatih TIM SAR dan Pengakap/Pandu di UBD. Keahliannya tersebut juga menjadi penolong/menjadi pekerjaan utama bagi diri Pak Iksan. Hingga akhirnya beliau bisa diterima nyambi sebagai sopir jemputan, sekaligus agen PO Bus Damri di Bandar Seribegawan, bahkan istrinya dibawa serta untuk bekerja di Brunei. Karena pengalamannya menjelajah di Boreno Utara, tidak jarang beliau dipercaya untuk mengantar tamu yang akan pergi ke Serawak maupun Sabah. Sedangkan anak-anaknya tetap tinggal di Indonesia bersama Embahnya di Jawa Timur, dan kalau liburan sekolah sering diajak main ke Brunei.

Sebagai WNI yang berpengalaman dalam perantauan beliu bertutur, bagi calon TKI yang berminat bekerja di negeri Jiran, sebaiknya kenali dahulu negara tujuan yang akan dipilih (bahasa sononya “mapping”). Jaman sekarang informasi lebih mudah diakses, tidak seperti jaman beliau dahulu. Siapkan segala-galanya dengan baik dan mantap. Jangan sampai pengalaman pahit beliau kembali menimpa WNI/calon TKI lainnya. Jika anak-anaknya sudah selesai sekolah semua dan umur semakin tua, beliau tetap akan pulang ke Indonesia tanah kelahiran yang dicintainya. “Hidup di luar negeri memang indah, namun lebih indah hidup sampai akhir hayat di Negeri Sendiri.”

Gambar dibawah ini adalah salah satu contoh, Jika Anda tidak mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Anda tidak siap dengan kemungkinan terburuk yang akan dihadapi di Negara Orang …..ya terpaksa tinggal di “Rumah Bedeng” di tengah hutan Borneo Utara dan jauh dari mana-mana. Seperti ini gambarannya ....!!!



“Tentu saja anda akan tidur ditemani rembulan, nyamuk, dan suara penghuni hutan.”


Bersambung………………..

Sabtu, 16 Januari 2010

Perjalanan Darat Bandar Seri Begawan-Pontianak Naik Bus DAMRI


Brunei Darussalam 20 Desember 2009. Tak terasa 6 bulan sudah berlalu kami tinggal dan belajar di UBD yang cukup sepi dan di kelilingi hutan. Di liburan break semester aku kangen akan kampungku di Purworejo, Jawa Tengah. Tetapi dengan melihat kondisi uang sakuku sebagai student, jika aku memaksa pulang dengan pesawat kerajaan Brunei, Royal Brunei Airlines rasanya cukup mahal. Dan akupun hanya mampu menatapnya ketika melintas rendah di atas UBD. Yah cari akal, cari jalan lain, pulang dengan Bus DAMRI dan transit di Pontianak. Why not ?
Sore itu cuaca di langit Brunei Darussalam cukup cerah. Aku melihat jam ditanganku menunjukkan pukul 14.30 waktu Brunei. Aku bersama temanku dari Indonesia sudah bersiap-siap menuju Bandar Seri Begawan (BSB) untuk checkin tiket Bus DAMRI dari BSB ke Pontianak, seharga B$ 80. Sebenarnya ada empat PO yang melayani rute ini, tetapi kami tetap memilih PO DAMRI karena itulah milik Indonesia yang bisa kami banggakan. Mobil jemputan dari PO DAMRI akhirnya tiba di Parking area Universiti of Brunei Darussalam (UBD). Bersama sang sopir Pak Iksan (WNI telah 8 th kerja di Brunei), kami meninggalkan UBD menuju BSB.

Sepanjang perjalanan dari UBD ke BSB, Pak Iksan bercerita tentang pengalaman kerjanya di Brunei. Saya bangga karena Pak Iksan adalah TKI yang punya keahlian melatih TIM SAR dan Pandu/Pramuka, bahasa Inggrisnya bagus, dia pun mempunyai banyak kenalan orang istana. Oleh karena itu, dia sering diajak pejabat kerajaan pergi ke luar Brunei, diluar tugasnya dia bersama istrinya kerja di PO DAMRI BSB. Beliau bekerja di Brunei demi membiayai anak-anaknya yang masih sekolah di Indonesia. Ya, demi anaknya beliau bekerja di negeri orang siang dan malam, yang tentunya diawali dengan pengorbanan dan penuh rintangan.


Suasana ketika para WNI/TKI di Seberang Tamu Kianggih, BSB menunggu kedatangan Bus DAMRI

Akhirya kamipun tiba di BSB tepatnya di lahan parkir “Tamu (Pasar) Kianggih”. Sambil menunggu Bus DAMRI yang akan tiba, kami checkin tiket. Ternyata disitu telah menunggu beberapa TKI/WNI yang juga akan pulang ke Indonesia melalui Pontianak. Sebut saja Asep dari Sukabumi, Pardi dari Jawa Timur dan masih banyak Mas, Pak, dan Mbak dari Jawa Barat, Tengah dan Timur lainnya yang sama-sama akan pulang karena habis kontrak. Kontrak kerja di Brunei umumnya 2 sampai 3 tahun, setelah itu harus kembali ke Indonesia. Mengurus surat lagi dan bisa perpanjangan kontrak untuk periode berikutnya.

Pukul 15.45 WB, Bus DAMRI tiba di BSB. Kamipun menempati tempat duduk masing-masing sesuai nomor seat di tiket. PO DAMRI mulai beroperasi di Lintas Borneo tanggal 28 Oktober 2008 jadi umur Bus sudah satu tahun. Namun kondisi Bus cukup bagus, mulai dari AC hingga Ban harus benar-benar memenuhi standar keselamatan Brunei yang cukup ketat. Lengah sedikit ada komplain masuk sultan Brunei “good bye forever”.

Setelah semuanya OK, Pak Iksan mengkonfirmasi apakah ada yang masih tertinggal. Dan membagikan “Nasi Katok” (kalau di Indonesia nasi uduk dengan ayam sepotong plus sambal harganya 6 ringgit Brunei) untuk bekal makan perjalanan 2 jam menuju perbatasan Miri. Nasi Katok sangat terkenal di Brunei. Hampir setiap tanggal tua keluarga di Brunei biasanya memborong hingga 20 bungkus sekaligus.

Everything is OK let’s go. Perjalanan 24 jam menuju Pontianak menembus hutan dan gunung di Borneo Utara dimulai. Bus berangkat tepat pukul 16.00 WB, perjalanan akan melalui Sarawak (Miri, Selango, Kuching, Tembedu), Entikong dan akhirnya Pontianak.

Dalam waktu satu jam tiga puluh menit Bus tiba Kuala Belait, sebentar lagi akan memasuki perbatasan Brunei-Sarawak tepatnya di Imigrasi Sungai Tujoh. Menjelang magrib Bus tiba di depan Imigrasi. Seluruh penumpang turun untuk cop pasport keberangkatan di pintu keluar Brunei. Kemudian menuju kantor Custom. Disini penumpang didata dari nama, pekerjaan, tinggal dimana, majikan siapa, dan yang paling penting petugasnya ramah-ramah. Kadang-kadang tersenyum disaat menyebut nama orang Indonesia yang mungkin aneh bagi mereka.

Bus Damri menunggu para penumpang cop pasport di imigrasi Sungai Tujoh, ini merupakan pintu Keluar dari Kuala Belait, Brunei ke Miri, Serawak Malayasia. Biasanya Bus Damri samapi disini menjelang maghrib.

Tiga puluh menit berikutnya Bus mulai memasuki Kota Miri, melewati jembatan ASEAN dan Boulevard Miri. Selepas Miri Bus akan memasuki kawasan Hutan yang masih cukup lebat hingga lepas Bintulu. Ya disaat Indonesia kehabisan Hutan, Brunei dan Malaysia hutannya Utuh. (Saya tidak akan membahas hutan yang dibabat oleh siapa). Walaupun di kegelapan malam, dengan dibantu cahaya bulan saya dapat melihat setiap beberapa kilometer terpampang tulisan “you will enter the rain forest park of Sarawak-Malaysia, welcome to Sarawak Resort”. Wow…my heart says where’s the rain forest park of Kalimatan-Indonesia or Sumatra or Sulawesi and now has been started in Papua…so… sad.

Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 02.00 waktu Sarawak, setelah melalui Palm Plantations of Sarawak (mata sampai bosen) kebon kelapa sawit tidak ada ujungnya. Bus DAMRI memasuki rest area untuk makan di antara kebun sawit, tepatnya di Daerah Selango, Sibu. Disitu terdapat masakan khas Sarawak bermacam-macam masakan Ikan sungai dan sayur Miding (pakis), seperti biasa ada sepiring telur ayam rebus di setiap meja makan, sayang nasinya agak “blenyek”. Tetapi tidak mengapa karena perut memang lapar, harga sama rata nasi sayur dan lauk seharga 8 RM, plus teh manis. Lagi-lagi pelayannya kebanyakan “Wong Njowo” luar biasa, seperti makan di pantura saja jadi ingat kalau pas mudik lebaran. Dalam kesempatan tersebut saya ngobrol dengan TKW asal Jatim seorang Ibu-ibu. “Kenapa memilih jalan darat Bu ?
Beliau menjawab “Sebabe luwih murah Mas, bus 80 dollar Brunei ditambah naik pesawat yang ekonomi non Garuda dari Pontianak hanya 300 an ribu, kebetulan ada teman di Pontianak jadi lebih ngirit Mas, diitung-itung 1 Juta rupiah aku wis katek Suroboyo. Iso nukokke jajan anakku. Coba kalau naik Pesawat Royal Brunei langsung pesawate thok 400 dollar Brunei (3,5 juta) iku ya kelas ekonomi” .



Transit di Rumah Makan di Selango, Serawak pkl. 02.10 WS


Menjelang pagi Bus Berjalan agak perlahan karena memasuki kawasan pegunungan dan dan kiri-kanan banyak terdapat tebing batu dan jurang. Dari Sarikei Bus menuju kearah Kuching namun Bus tidak melalui Kota Kucing hanya OTR nya saja. Jalanan di Trans Malaysia mulai terlihat jelas, lebar, halus kiri kanan ada grapel sebelum pembatas rumput, baru kemudian drainase. Disepanjang jalan, para “perawat jalan” kebanyakan keturunan atau dari India-Bangladesh sibuk dengan mesin potong rumputnya membabat rumput yang mulai memasuki bahu jalan. Selain itu jarak rumah ke Jalan sepertinya diatur dengan bagus. One more question How about road in Indonesia, my country ?.

Memasuki daerah pinggiran Kuching akan terasa seperti naik Bus di Indonesia ada sawah, kebun sawit dan Hutan yang sangat terjaga. Kira-kira pukul 08.00 WS Bus memasuki daerah Tembedu. Pintu imigrasi keluar dari wilayah Malaysia. Penumpang satu persatu kembali turun untuk cop passport. Kurang lebih satu kilometer ke depan Bus akan memasuki wilayah NKRI pintu masuk Entikong.

Suasana berubah drastis, penumpang turun dan harus berjalan kurang lebih 200 ratus meter memasuki pintu yang dijaga TNI dengan senjata lengkap. Calo penukar uang dan penjual pulsa Indonesia menawarkan jasanya dengan agak memaksa dan menjual pulsa dengan harga semaunya. Kemudian ada oknum berseragam yang meminta passport para TKI untuk dibantu meminta cop di imigrasi. Sementara barang-barang di bagasi di chek satu persatu. Proses di Entikong butuh waktu kurang lebih 30 menit. Setelah semua selesai, penumpang kembali ke dalam Bus. Ada semacam portal dan rantai yang dipasang, sebelum dibuka Bus tidak akan bisa masuk. Kemudian masih ada pagar yang bisa dibuka tutup. Ya mungkin demi keamanan semua itu dilakukan. Pasportpun dikembalikan kepada para penumpang, namun sayang oknum berseragam yang didadanya tanpa nama tersebut, dengan dibantu temannya meminta uang jasa cop sebesar 20 ribu rupiah atau jika tidak ada 10 RM. Kasihan padahal kalu cop sendiri gratis. Ada pula TKI yang memelas tapi mereka tidak peduli. Bayangkan kalau sehari 4 bus masuk 4 bus keluar dikali 40 penumpang berapa itu, seminggu, sebulan, setahun ? That’s happened in my country and I saw it all…?




Suasana ketika pemeriksaan bagasi barang para penumpang Bus di Entikong, coba tebak siapa yang memakai baju Biru Muda dan pegang banyak pasport ? susah karena tanpa nama diseragamnya.

Selain itu terlihat ada semacam pos yang didalamnya terdapat pamflet, dan poster potensi wisata Kalbar yang tidak terawat. Pamflet dibuat sekedarnya, bagaimana wisatawan akan tertarik ? Sekali lagi jika dibandingkan promosi wisata di Serawak sampai Sabah kalah jauh !


Memasuki wilayah Kalimantan Barat, mulai dapat dibedakan dengan negara tetangga. Bus berjalan perlahan, karena sarana jalan agak sempit. Masih banyak lubang khususnya kalau melewati jembatan. Jalan berkelok-kelok dan tidak akan kelihatan jika ada kendaraan didepannya, karena tidak ada pembabat rumput atau semak yang menutupi bahu jalan. Hal ini jauh berbeda dengan Jalanan di Malaysia apalagi di Brunei. Padahal Entikong-Pontianak jarak tempuhnya kurang lebih masih 8 jam. Pemandangan yang telihat di kejauhan adalah bekas Hutan yang sudah gundul dan tinggal tonggaknya, serta tanaman padi yang kurang subur. Selain itu jarak rumah penduduk dengan bahu jalan cukup dekat dan berbahaya. Tidak jarang kaca kiri depan bus "dibersihkan" oleh daun bambu, ranting atau daun pisang yang menjulur ke jalan raya.

Kru Bus mulai memutar Film dan musik Malaysia dan Indonesia sebagai penghibur dan pengusir rasa penat. Hasilnya cukup lumayan juga bisa mengurangi ketidakyamanan penumpang selama dalam perjalanan.

Pukul 11. 30 WIT Bus memasuki rest area di Daerah Ladak. Disini makanan cukup mahal satu orang sekali makan hampir lima puluh ribu. Nasi lauk mirip ketika makan di Sarawak walaupun tulisan menyebut “Rumah Makan Padang”. Dan Nasinya tahan banting alias “keras/pera”. Sekali lagi karena lapar rasannya tetap enak.

Memasuki wilayah Kalbar mendekati Kota Pontianak, hamparan sawah yang hijau seperti di Pulau Jawa terlihat di kiri dan kanan. Pemandangan rawa dan sawah mendominasi selama kurang lebih empat jam. Pukul 16.30 WIT Bus memasuki Kota Pontianak melewati Tugu Katulistiwa yang terkenal itu. Tidak terasa 24 jam sudah kami melakukan perjalanan darat Brunei-Miri-Selango-Kuching-Pontianak. Kami menginap semalam di Pontianak, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan pesawat milik swasta Rp 320 ribu menuju Jakarta. Memang terbukti cerita Ibu dari Jatim tadi bahwa dengan Rp 1 Juta saya pun bisa sampai di Jakarta.

Itulah pengalaman perjalanan darat saya dari Brunei-Pontianak bersama dengan para TKI, yang katanya “pahlawan devisa”. Tetapi nasib mereka siapa yang peduli jangankan perlindungan, "dukungan tidak langsung" kepada merekapun sangat kurang. Bahkan justru rasa tidak aman itu muncul ketika mereka kembali memasuki Negara yang dicintai ini. Demi memperbaiki nasib, demi membiayai anak mereka sekolah dan memberinya jajan mereka mau bekerja siang dan malam. Mereka juga rela naik Bus selama 24 jam dan naik pesawat murah dengan resiko cukup tinggi. Harapan saya semoga pemerintah lebih perduli dengan membangun daerah perbatasan. Karena disitulah halaman depan Negara Indonesia. Alangkah indahnya jika prasarana khususnya jalan dari perbatasan diperlebar, diperbaiki dan selalu dirawat. Kemudian oknum/calo/preman diberantas. Pasti para WNI/TKI di Brunei dan Serawak yang memanfaatkan jalur darat untuk kembali ke Indonesia akan terbantu atau setidaknya merasa dihargai. Selain itu dampak ekonomi dan pariwisata pasti akan meningkat. Banyak wisatawan Brunei maupun Malaysia yang sebenarnya ingin ke Pontianak, namun hanya alasan keamanan dan ketidakyamanan mereka mengurungkan niatnya, apalagi Jalan Darat “no way”. Namun untuk mencapai semua itu membutuhkan waktu, pikiran, tenaga dan juga dana yang tidak sedikit. Kita Pasti bisa jika ada kemauan dan dukungan dari semua pihak. Semoga….