Brunei Darussalam 20 Desember 2009. Tak terasa 6 bulan sudah berlalu kami tinggal dan belajar di UBD yang cukup sepi dan di kelilingi hutan. Di liburan break semester aku kangen akan kampungku di Purworejo, Jawa Tengah. Tetapi dengan melihat kondisi uang sakuku sebagai student, jika aku memaksa pulang dengan pesawat kerajaan Brunei, Royal Brunei Airlines rasanya cukup mahal. Dan akupun hanya mampu menatapnya ketika melintas rendah di atas UBD. Yah cari akal, cari jalan lain, pulang dengan Bus DAMRI dan transit di Pontianak. Why not ?
Sepanjang perjalanan dari UBD ke BSB, Pak Iksan bercerita tentang pengalaman kerjanya di Brunei. Saya bangga karena Pak Iksan adalah TKI yang punya keahlian melatih TIM SAR dan Pandu/Pramuka, bahasa Inggrisnya bagus, dia pun mempunyai banyak kenalan orang istana. Oleh karena itu, dia sering diajak pejabat kerajaan pergi ke luar Brunei, diluar tugasnya dia bersama istrinya kerja di PO DAMRI BSB. Beliau bekerja di Brunei demi membiayai anak-anaknya yang masih sekolah di Indonesia. Ya, demi anaknya beliau bekerja di negeri orang siang dan malam, yang tentunya diawali dengan pengorbanan dan penuh rintangan.
Pukul 15.45 WB, Bus DAMRI tiba di BSB. Kamipun menempati tempat duduk masing-masing sesuai nomor seat di tiket. PO DAMRI mulai beroperasi di Lintas Borneo tanggal 28 Oktober 2008 jadi umur Bus sudah satu tahun. Namun kondisi Bus cukup bagus, mulai dari AC hingga Ban harus benar-benar memenuhi standar keselamatan Brunei yang cukup ketat. Lengah sedikit ada komplain masuk sultan Brunei “good bye forever”.
Setelah semuanya OK, Pak Iksan mengkonfirmasi apakah ada yang masih tertinggal. Dan membagikan “Nasi Katok” (kalau di Indonesia nasi uduk dengan ayam sepotong plus sambal harganya 6 ringgit Brunei) untuk bekal makan perjalanan 2 jam menuju perbatasan Miri. Nasi Katok sangat terkenal di Brunei. Hampir setiap tanggal tua keluarga di Brunei biasanya memborong hingga 20 bungkus sekaligus.
Everything is OK let’s go. Perjalanan 24 jam menuju Pontianak menembus hutan dan gunung di Borneo Utara dimulai. Bus berangkat tepat pukul 16.00 WB, perjalanan akan melalui Sarawak (Miri, Selango, Kuching, Tembedu), Entikong dan akhirnya Pontianak.
Dalam waktu satu jam tiga puluh menit Bus tiba Kuala Belait, sebentar lagi akan memasuki perbatasan Brunei-Sarawak tepatnya di Imigrasi Sungai Tujoh. Menjelang magrib Bus tiba di depan Imigrasi. Seluruh penumpang turun untuk cop pasport keberangkatan di pintu keluar Brunei. Kemudian menuju kantor Custom. Disini penumpang didata dari nama, pekerjaan, tinggal dimana, majikan siapa, dan yang paling penting petugasnya ramah-ramah. Kadang-kadang tersenyum disaat menyebut nama orang Indonesia yang mungkin aneh bagi mereka.
Tiga puluh menit berikutnya Bus mulai memasuki Kota Miri, melewati jembatan ASEAN dan Boulevard Miri. Selepas Miri Bus akan memasuki kawasan Hutan yang masih cukup lebat hingga lepas Bintulu. Ya disaat Indonesia kehabisan Hutan, Brunei dan Malaysia hutannya Utuh. (Saya tidak akan membahas hutan yang dibabat oleh siapa). Walaupun di kegelapan malam, dengan dibantu cahaya bulan saya dapat melihat setiap beberapa kilometer terpampang tulisan “you will enter the rain forest park of Sarawak-Malaysia, welcome to Sarawak Resort”. Wow…my heart says where’s the rain forest park of Kalimatan-Indonesia or Sumatra or Sulawesi and now has been started in Papua…so… sad.
Tidak terasa waktu menunjukkan pukul 02.00 waktu Sarawak, setelah melalui Palm Plantations of Sarawak (mata sampai bosen) kebon kelapa sawit tidak ada ujungnya. Bus DAMRI memasuki rest area untuk makan di antara kebun sawit, tepatnya di Daerah Selango, Sibu. Disitu terdapat masakan khas Sarawak bermacam-macam masakan Ikan sungai dan sayur Miding (pakis), seperti biasa ada sepiring telur ayam rebus di setiap meja makan, sayang nasinya agak “blenyek”. Tetapi tidak mengapa karena perut memang lapar, harga sama rata nasi sayur dan lauk seharga 8 RM, plus teh manis. Lagi-lagi pelayannya kebanyakan “Wong Njowo” luar biasa, seperti makan di pantura saja jadi ingat kalau pas mudik lebaran. Dalam kesempatan tersebut saya ngobrol dengan TKW asal Jatim seorang Ibu-ibu. “Kenapa memilih jalan darat Bu ?
Beliau menjawab “Sebabe luwih murah Mas, bus 80 dollar Brunei ditambah naik pesawat yang ekonomi non Garuda dari Pontianak hanya 300 an ribu, kebetulan ada teman di Pontianak jadi lebih ngirit Mas, diitung-itung 1 Juta rupiah aku wis katek Suroboyo. Iso nukokke jajan anakku. Coba kalau naik Pesawat Royal Brunei langsung pesawate thok 400 dollar Brunei (3,5 juta) iku ya kelas ekonomi” .
Transit di Rumah Makan di Selango, Serawak pkl. 02.10 WS
Menjelang pagi Bus Berjalan agak perlahan karena memasuki kawasan pegunungan dan dan kiri-kanan banyak terdapat tebing batu dan jurang. Dari Sarikei Bus menuju kearah Kuching namun Bus tidak melalui Kota Kucing hanya OTR nya saja. Jalanan di Trans Malaysia mulai terlihat jelas, lebar, halus kiri kanan ada grapel sebelum pembatas rumput, baru kemudian drainase. Disepanjang jalan, para “perawat jalan” kebanyakan keturunan atau dari India-Bangladesh sibuk dengan mesin potong rumputnya membabat rumput yang mulai memasuki bahu jalan. Selain itu jarak rumah ke Jalan sepertinya diatur dengan bagus. One more question How about road in Indonesia, my country ?.
Memasuki daerah pinggiran Kuching akan terasa seperti naik Bus di Indonesia ada sawah, kebun sawit dan Hutan yang sangat terjaga. Kira-kira pukul 08.00 WS Bus memasuki daerah Tembedu. Pintu imigrasi keluar dari wilayah Malaysia. Penumpang satu persatu kembali turun untuk cop passport. Kurang lebih satu kilometer ke depan Bus akan memasuki wilayah NKRI pintu masuk Entikong.
Suasana berubah drastis, penumpang turun dan harus berjalan kurang lebih 200 ratus meter memasuki pintu yang dijaga TNI dengan senjata lengkap. Calo penukar uang dan penjual pulsa Indonesia menawarkan jasanya dengan agak memaksa dan menjual pulsa dengan harga semaunya. Kemudian ada oknum berseragam yang meminta passport para TKI untuk dibantu meminta cop di imigrasi. Sementara barang-barang di bagasi di chek satu persatu. Proses di Entikong butuh waktu kurang lebih 30 menit. Setelah semua selesai, penumpang kembali ke dalam Bus. Ada semacam portal dan rantai yang dipasang, sebelum dibuka Bus tidak akan bisa masuk. Kemudian masih ada pagar yang bisa dibuka tutup. Ya mungkin demi keamanan semua itu dilakukan. Pasportpun dikembalikan kepada para penumpang, namun sayang oknum berseragam yang didadanya tanpa nama tersebut, dengan dibantu temannya meminta uang jasa cop sebesar 20 ribu rupiah atau jika tidak ada 10 RM. Kasihan padahal kalu cop sendiri gratis. Ada pula TKI yang memelas tapi mereka tidak peduli. Bayangkan kalau sehari 4 bus masuk 4 bus keluar dikali 40 penumpang berapa itu, seminggu, sebulan, setahun ? That’s happened in my country and I saw it all…?
Suasana ketika pemeriksaan bagasi barang para penumpang Bus di Entikong, coba tebak siapa yang memakai baju Biru Muda dan pegang banyak pasport ? susah karena tanpa nama diseragamnya.
Memasuki wilayah Kalimantan Barat, mulai dapat dibedakan dengan negara tetangga. Bus berjalan perlahan, karena sarana jalan agak sempit. Masih banyak lubang khususnya kalau melewati jembatan. Jalan berkelok-kelok dan tidak akan kelihatan jika ada kendaraan didepannya, karena tidak ada pembabat rumput atau semak yang menutupi bahu jalan. Hal ini jauh berbeda dengan Jalanan di Malaysia apalagi di Brunei. Padahal Entikong-Pontianak jarak tempuhnya kurang lebih masih 8 jam. Pemandangan yang telihat di kejauhan adalah bekas Hutan yang sudah gundul dan tinggal tonggaknya, serta tanaman padi yang kurang subur. Selain itu jarak rumah penduduk dengan bahu jalan cukup dekat dan berbahaya. Tidak jarang kaca kiri depan bus "dibersihkan" oleh daun bambu, ranting atau daun pisang yang menjulur ke jalan raya.
Pukul 11. 30 WIT Bus memasuki rest area di Daerah Ladak. Disini makanan cukup mahal satu orang sekali makan hampir lima puluh ribu. Nasi lauk mirip ketika makan di Sarawak walaupun tulisan menyebut “Rumah Makan Padang”. Dan Nasinya tahan banting alias “keras/pera”. Sekali lagi karena lapar rasannya tetap enak.
Memasuki wilayah Kalbar mendekati Kota Pontianak, hamparan sawah yang hijau seperti di Pulau Jawa terlihat di kiri dan kanan. Pemandangan rawa dan sawah mendominasi selama kurang lebih empat jam. Pukul 16.30 WIT Bus memasuki Kota Pontianak melewati Tugu Katulistiwa yang terkenal itu. Tidak terasa 24 jam sudah kami melakukan perjalanan darat Brunei-Miri-Selango-Kuching-Pontianak. Kami menginap semalam di Pontianak, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan pesawat milik swasta Rp 320 ribu menuju Jakarta. Memang terbukti cerita Ibu dari Jatim tadi bahwa dengan Rp 1 Juta saya pun bisa sampai di Jakarta.
Itulah pengalaman perjalanan darat saya dari Brunei-Pontianak bersama dengan para TKI, yang katanya “pahlawan devisa”. Tetapi nasib mereka siapa yang peduli jangankan perlindungan, "dukungan tidak langsung" kepada merekapun sangat kurang. Bahkan justru rasa tidak aman itu muncul ketika mereka kembali memasuki Negara yang dicintai ini. Demi memperbaiki nasib, demi membiayai anak mereka sekolah dan memberinya jajan mereka mau bekerja siang dan malam. Mereka juga rela naik Bus selama 24 jam dan naik pesawat murah dengan resiko cukup tinggi. Harapan saya semoga pemerintah lebih perduli dengan membangun daerah perbatasan. Karena disitulah halaman depan Negara Indonesia. Alangkah indahnya jika prasarana khususnya jalan dari perbatasan diperlebar, diperbaiki dan selalu dirawat. Kemudian oknum/calo/preman diberantas. Pasti para WNI/TKI di Brunei dan Serawak yang memanfaatkan jalur darat untuk kembali ke Indonesia akan terbantu atau setidaknya merasa dihargai. Selain itu dampak ekonomi dan pariwisata pasti akan meningkat. Banyak wisatawan Brunei maupun Malaysia yang sebenarnya ingin ke Pontianak, namun hanya alasan keamanan dan ketidakyamanan mereka mengurungkan niatnya, apalagi Jalan Darat “no way”. Namun untuk mencapai semua itu membutuhkan waktu, pikiran, tenaga dan juga dana yang tidak sedikit. Kita Pasti bisa jika ada kemauan dan dukungan dari semua pihak. Semoga….